GANTI PEMBALUT KOK KENA KARTU MERAH
Hmmmm jadi perempuan tuh masiih aja ya sulit di banyak kondisi, termasuk, dan masih aja adaaa, di dunia olahraga.
Sulit pipis. Sulit ganti pembalut. Sulit dianggap sebagai subjek utuh yang memiliki pengalaman biologis sendiri. Padahal tubuh perempuan bukan robot kompetisi yang bisa disetel dengan stopwatch.
4 Mei 2025, pemain bulu tangkis, Huang Dong Ping, dikasih kartu merah oleh wasit karena dianggap terlalu lama ke toilet buat ganti pembalut. Main badminton saat sedang menstruasi saja sulit, ini mau ganti pembalut saat jeda interval aja masih dirugikan. Ini bukan “kesalahan wasit” atau “misunderstanding”. Tapi emang gejala, gejala bertahun-tahun, berabad-abad. Gejala dari sistem olahraga yang dibangun bukan untuk tubuh perempuan. Aturan dibuat seolah-olah netral untuk semua atlet, padahal yang disebut netral itu standar-nya pake standar tubuh laki-laki. Menstruasi, keputihan, sakit perut atau kram dianggap gangguan, bukan bagian dari ritme tubuh atlet yang harus dihormati. Dan sedihnya, ketika perempuan bicara soal ini, responsnya antara dua: dianggap terlalu manja atau disuruh diam karena “aturan ya aturan”.
Jadinya ya mikir kalo olahraga memang jadi panggung kontrol tubuh. Tapi tubuh siapa yang dikontrol? Dan siapa yang harus menyesuaikan? Iya betul ada perubahan lah dikit-dikit dari kebijakan di berbagai cabang olahraga. Mulai dari tenis yang akhirnya memperbolehkan celana gelap setelah ribuan perempuan bersuara, sampai FIFA yang baru belakangan ini bikin cuti haid dan hamil untuk atlet. Tapi kok rasanya semuanya telat. Telat banget. Dan ini bukan sekadar soal kebijakan. Ini tentang politik tubuh. Tentang bagaimana tubuh perempuan selalu dianggap "tambahan," bukan pusat. Tentang bagaimana pengalaman biologis perempuan dilihat sebagai gangguan, bukan kenyataan.
Jadinya juga inget Judith Butler. Gender itu bukan sesuatu yang kita “punya” secara bawaan, tapi sesuatu yang kita “perankan” terus-menerus, dalam keseharian, dalam bahasa, dalam pakaian, dalam gerak tubuh. Nah, sistem olahraga yang memaksakan netralitas tubuh ini pada dasarnya memaksa atlet perempuan buat tampil sesuai gender performa yang “tertib”, bersih, nggak mengganggu aturan, dan invisible saat menstruasi.
Perempuan memang diperbolehkan bertanding. Tapi, hanya kalau mereka bisa berperforma seperti bukan perempuan: nggak haid, nggak kram perut, nggak ribet. Itu bentuk tekanan performativitas gender yang nggak adil. Dan itu bukan kesalahan individu atlet perempuan, TENTU SAJA BUKAN. Itu masalah struktur. Olahraga masih jadi institusi yang bikin tubuh perempuan harus menyembunyikan dirinya, supaya nggak dianggap merepotkan.
Butler ngajarin kita bahwa performa gender bukan hal sepele. Dan ketika sistem memaksa bentuk performa tertentu, maka yang ditekan bukan cuma ekspresi, tapi juga hak atas tubuh yang utuh. Dan dalam konteks ini, tubuh perempuan ditekan buat tunduk pada aturan yang maskulin dan dianggap “steril”.
Persoalan kartu merahnya Huang Dong Ping ini bukan cuma soal ke toilet saat lagi jeda main.....
Ini soal bagaimana struktur olahraga dibangun tanpa mendengarkan tubuh perempuan. Soal bagaimana aturan dibuat tanpa ruang kompromi untuk darah haid, tanpa empati untuk nyeri yang datang tiap bulan, dan tanpa imajinasi bahwa tubuh atlet itu beragam. Bukan satu format universal yang bisa dipaksa.
Keadilan dalam olahraga bukan cuma soal siapa yang menang atau kalah. Tapi siapa yang diperbolehkan hadir sepenuhnya dengan tubuhnya, emosinya, dan pengalaman biologisnya yang utuh. Kalau olahraga masih terus melanggengkan aturan yang mengabaikan kebutuhan dasar perempuan, maka ia bukan ruang adil. Ia hanya panggung kompetisi yang dibungkus netralitas palsu, yang pada akhirnya, lagi-lagi, meminggirkan perempuan. Juga, kalo olahraga mau adil, maka keadilan gender nggak bisa cuma slogan di tribun. Harusnya ada di manual wasit, di ruang ganti, di regulasi turnamen, dan di seluruh aspeknya. Dan yang paling penting harus ada di kepala orang-orang yang masih nganggep bahwa "ganti pembalut" itu alasan yang nggak cukup sah buat ambil waktu jeda pertandingan.