SAAT PENDIDIKAN JADI ALAT KEKUASAAN (DARI SEKOLAH RAKYAT KE BARAK MILITER)
SAAT PENDIDIKAN JADI ALAT KEKUASAAN (DARI SEKOLAH RAKYAT KE BARAK MILITER)
Selain program Makan Bergizi Gratis, ada program  gimmick lain yang dibawa-bawa presiden saat kampanye pilpres yang lalu, yakni Sekolah Rakyat. Sepertinya, program Sekolah Rakyat ini pun juga sudah berproses. Terbukti beberapa hari lalu, beredar selebaran di konten Twitter tentang pendaftaran "Sekolah Rakyat" untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu. Sekilas, ini terdengar seperti kabar gembira. Jelas, anak-anak tidak mampu diberi kesempatan pendidikan SMA gratis, berasrama, dan penuh fasilitas.
Namun, semakin diamati, semakin merasa gusar. Seperti biasa, 'kebaikan' dari negara tidak pernah datang begitu saja tanpa logika kuasa yang membungkusnya. Ketika membaca lebih dalam, kita tidak bisa mengabaikan berbagai sinyal ideologis yang menyelinap dalam program ini. Sinyal bahwa negara tidak sekadar "hadir", tetapi juga menyaring, menormalisasi, dan mendisiplinkan mereka yang dianggap bisa diselamatkan. Kemudian memunculkan pertanyaan: bagaimana negara melihat rakyat tidak mampu?
Yang pertama mencolok dari pendaftaran Sekolah Rakyat tersebut adalah frasa "putra-putri pilihan terbaik dari keluarga tidak mampu." Di sinilah logika seleksi dan penyaringan bekerja. Anak-anak dari keluarga tidak mampu ini bukan lagi subjek dengan hak, tetapi objek yang harus memenuhi syarat tertentu agar bisa dianggap pantas untuk dibantu. Negara, dalam hal ini, tampil sebagai institusi penyaring. Menentukan siapa yang cukup pintar, cukup layak, cukup menjanjikan, dan cukup jinak untuk diselamatkan.
Ini adalah bentuk meritokrasi palsu. Kelas sosial tidak dihapus, tapi dimodifikasi. Dari sekadar kemiskinan ekonomis, menjadi kemiskinan yang disaring berdasarkan kriteria negara. Dalam proses ini, hanya anak-anak miskin yang memenuhi 'standar ideal' negara yang bisa naik kelas. Selebihnya? Tidak layak. Dalam terminologi Michel Foucault, ini bisa dibaca sebagai bagian dari kerja biopolitik: bagaimana negara mengatur, memilah, dan membentuk kehidupan melalui teknologi kontrol yang halus melalui pendidikan, seleksi, juga disiplin. Sekolah tidak hanya mengajarkan matematika atau sejarah, tetapi juga membentuk tubuh dan jiwa yang taat. Subjek yang patuh pada sistem dan merasa berutang budi pada negara.
Poin lain yang mengganggu adalah format pendidikan berasrama. Asrama bukan sekadar tempat tinggal, tapi juga alat produksi tubuh-tubuh yang disiplin. Ini adalah pengendalian total, yang dibungkus dalam nama "pembinaan karakter". Siapa bangun jam berapa, siapa berdoa, siapa belajar, siapa tidur, semuanya terprogram. Anak-anak ini tidak akan sekadar mendapat pendidikan, tapi juga dikondisikan untuk menjadi tubuh-tubuh yang disiplin. Seperti yang pernah ditulis Michel Foucault, pendidikan modern bukan soal ilmu pengetahuan saja, tapi juga pembentukan tubuh: siapa yang patut dididik, dan bagaimana mereka dikendalikan.
Dalam hal ini, program "Sekolah Rakyat" terlihat seperti upaya sistematis negara untuk "memproduksi" subjek-subjek ideal dari kalangan miskin. Subjek yang tidak hanya berterima kasih, tapi juga harus tidak banyak bertanya. Foucault juga menyebut ini sebagai disciplinary power—kuasa yang tidak memukul, tapi mengatur gerak. Kuasa yang tidak melarang secara kasar, tapi mengatur melalui prosedur, jadwal, dan evaluasi. Anak-anak ini tidak akan sekadar mendapat pengetahuan, tapi juga dikondisikan untuk menjadi "warga negara ideal": produktif, normatif, dan penuh rasa syukur kepada negara. Dalam skema ini, pendidikan bukanlah hak, melainkan hadiah yang diberikan secara selektif. Sebuah bentuk charity with strings attached, di mana bantuan dibungkus dengan tuntutan kesetiaan ideologis.
Beberapa hari setelah publik ribut soal selebaran Sekolah Rakyat, muncul kebijakan kontroversial lain: Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memutuskan untuk mengirim siswa-siswa "nakal" ke barak militer selama enam bulan sebagai bentuk pembinaan. Pendekatannya militeristik, represif, dan jauh dari semangat pendidikan sebagai hak. Anak-anak ini, yang semestinya didampingi dengan pendekatan psikososial dan pedagogis, justru dikirim ke institusi yang tugas utamanya adalah perang—bukan membina kehidupan sipil.
Ini bukan cuma kebijakan keliru, tapi juga berbahaya. Tapi argumen yang paling perlu ditekankan adalah: kenapa negara (atau pejabat daerah) dengan mudahnya menyerahkan tubuh-tubuh muda kepada institusi militer, alih-alih pendidikan?
Logika yang sama dengan Sekolah Rakyat sedang bekerja di sini: anak-anak miskin dan bermasalah tidak dianggap sebagai subjek dengan hak, melainkan objek yang harus "diperbaiki". Jika dianggap cukup menjanjikan, mereka diberi kesempatan sekolah asrama. Jika dianggap menyimpang, mereka dikirim ke barak. Ini semua menunjukkan bagaimana negara memperlakukan pendidikan bukan sebagai hak universal, tapi sebagai alat seleksi dan kontrol sosial.
Baik Sekolah Rakyat maupun “Sekolah Militer” versi Dedi Mulyadi, menunjukkan bagaimana pendidikan kehilangan sifatnya sebagai hak dasar. Yang satu dibungkus dengan charity dan nasionalisme, yang satu lagi dengan disiplin militer. Keduanya adalah wajah dari negara yang hadir bukan untuk membebaskan, tetapi untuk mengontrol. Mengatur yang “potensial” agar jadi subjek jinak, dan membuang yang “bermasalah” ke institusi militer.
Sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi ruang produksi subjek yang patuh. Sementara barak militer, jadi ruang pembuangan bagi mereka yang gagal dalam sistem. Ini adalah bentuk paling vulgar dari biopolitik Michel Foucault: memilah siapa yang layak hidup produktif, dan siapa yang perlu dikontrol ketat.
Yang kita butuhkan adalah negara yang mengakui seluruh anak sebagai manusia utuh. Negara yang tidak membagi anak menjadi yang "berpotensi" dan yang "bermasalah". Negara yang tidak menjadikan pendidikan sebagai hadiah atau hukuman. Tapi sebagai ruang pembebasan. Ruang tumbuh. Ruang berpikir. Pendidikan, rasanya semakin jauh dari apa yang dipikirkan Tan Malaka. Memang lah benar pendidikan sepatutnya untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan.Â