Lepas Kuku Ibu Jari Kaki dan Politik Memori
Beberapa minggu lalu, kuku ibu jari kakiku lepas karena kecelakaan domestik. Sampai sekarang, rasa sakitnya masih terus membekas. Meski tidak ada apa-apa yang menyentuh kaki, ingatan itu seringkali tiba-tiba hadir. Rasa ngilu yang datang bukan semata karena luka fisik, melainkan juga karena tubuhku terus mengulang memori sakit itu. Terlebih saat untuk pertama kali keluar rumah setelah kejadian. Aku diliputi ketakutan: bagaimana jika kaki ini terbentur, bagaimana jika rasa sakit itu terulang lagi? Trauma kecil tentang kuku ibu jari yang lepas ini mengajarkanku bahwa ingatan tidak hanya hidup di kepala, tapi menempel erat di tubuh. Pun, dari pengalaman personal ini, aku semakin memahami mengapa politik memori itu begitu penting. Jika luka kecil pada tubuh bisa begitu membekas, bagaimana dengan luka kolektif bangsa seperti tragedi 1965 yang ditanggung ribuan orang selama puluhan tahun??
Film Eksil karya Lola Amaria menghadirkan potret dari luka itu. Tubuh-tubuh yang dibuang dari tanah air, hidup dalam keterasingan, dan dipaksa membawa ingatan pahit yang tak pernah benar-benar sembuh. Eksil ialah kisah para pengasingan politik 1965 yang hidup jauh dari tanah air. Kisah-kisah personal dalam film ini bukan sekadar testimoni individual, tetapi beroperasi sebagai bentuk counter-memory yang menantang narasi dominan negara. Jika berpikir ala mazhab Frankfurt, Eksil dapat dibaca sebagai praktik kultural yang menginterupsi hegemonic memory regime Orde Baru dan warisannya. Dengan kata lain, film ini bukan hanya medium estetis, melainkan juga praktik politik memori yang berupaya mengembalikan martabat para eksil melalui ingatan. Nicole Maurantonio (2014) mendefinisikan politik memori sebagai “who wants whom to remember what, and why”. Pertanyaan ini menyingkap dimensi kuasa dalam setiap praktik mengingat. Orde Baru membangun prescriptive memory tentang eksil. Eksil dibentuk sebagai musuh bangsa, pengkhianat, dan entitas yang harus dihapus dari sejarah nasional. Ingatan ini dilembagakan melalui kurikulum, media, dan sensor budaya.
Dengan meminjam kerangka negative dialectics dari Adorno (1973), Eksil dapat dibaca sebagai karya yang menolak kesatuan palsu yang dibangun negara. Eksil berhasil menampilkan fragmen-fragmen hidup yang ‘tidak pas’ dengan narasi resmi yang dibentuk. Politik memori dalam film ini juga mengingatkan pada culture industry. Ingatan nasional kita telah diproduksi secara massal lewat film propaganda, buku sejarah, hingga monumen. Hasilnya adalah identitas nasional yang tampak utuh namun sesungguhnya rapuh, karena dibangun di atas penghapusan, penghilangan, dan kepalsuan. Eksil merusak keutuhan palsu itu dengan menghadirkan suara yang “lain”. Dalam logika Adorno, inilah momen di mana seni bekerja bukan untuk menenangkan, tapi untuk mengguncang kesadaran. Dan yang lebih penting, Eksil menolak reifikasi terhadap penderitaan. Alih-alih mengubah kisah eksil jadi komoditas politik atau tontonan melodramatis, film ini mengembalikan agensi mereka. Mereka bukan sekadar objek belas kasihan, tapi subjek yang menafsirkan sendiri hidup dan ingatannya. Di titik inilah politik memori bertemu dengan misi emansipatoris teori kritis, yakni, membuka kemungkinan bagi sejarah alternatif serta menyajikan sejarah yang lebih jujur terhadap luka. Luka kolektif bangsa pasca-1965 adalah trauma yang jauh lebih dalam dan sistematis. Luka itu bukan hanya dialami individu, tapi diproduksi secara struktural melalui politik memori. Negara memonopoli ingatan, menyingkirkan narasi alternatif, dan menuntut rakyat untuk percaya pada versi tunggal sejarah.
Politik memori, pada akhirnya, adalah soal siapa yang diberi hak untuk mengingat. Dan di titik ini, perjuangan melawan lupa adalah perjuangan untuk mengembalikan martabat manusia. Ingatan para eksil seperti ingatan rasa sakit yang masih menetap di tubuhku akibat kuku ibu jariku lepas. Ia terus hadir meski kuasa berusaha menyingkirkannya. Kemudian, karena itulah, melawan lupa bukan sekadar kewajiban moral, tetapi juga proyek emansipatoris. Sebuah keharusan untuk membongkar keutuhan palsu sejarah, menolak reifikasi penderitaan, dan membuka ruang bagi masa depan yang lebih adil.
Jika kuku jempolku yang lepas bisa membuat tubuhku belajar tentang trauma, maka kisah para eksil dalam film Eksil mengajarkan bahwa bangsa juga punya tubuh yang masih menanggung luka. Melawan lupa berarti merawat luka itu dengan kejujuran. Dan tentu saja, ingatan bukan hanya milik negara tapi milik kita bersama.
—
NB: 13 Agustus 2025 adalah kali ketiga menonton Eksil. Dua kesempatan pertama masih speechless dan memilih untuk meromantisasi “duka”. Menonton ketiga kali, baru bisa inhale exhale dan berani share my thoughts.